Peryaan 2 Tahun Bebasnya Keluarga Saya dari Doktrin
Mungkin sudah takdir masa kecil saya untuk dididik dengan doktrin, seperti juga takdir dewasa saya, untuk berkehidupan bebas mencari ke mana kata hati pergi.
Tulisan ini saya buat tidak dengan maksud memangkas kebenaran dalih, “Mayoritas penduduk surga adalah orang-orang lugu.” Saya hanya merayakan kemerdekaan keluarga saya dari belenggu dokrin: tatanan pendidikan yang menempa saya dari bayi hingga 19 tahun.
Kalau pembaca pernah hidup di pesantren, tentu tahu ke mana konotasi dalih itu dimaksud. Dan untuk Anda yang non santrinisme, bisa saya bantu dengan cerita, bahwa setiap dalih itu muncul, maka dengan sendirinya anak-anak pesantrean akan tersugesti untuk berkehidupan tanpa adanya pemberontakan, untuk selalu tunduk, sekalipun harus dengan konsekuensi menutup hasrat pribadi dan arah kata hati pergi.
Demi menebus tiket surga? Mungkin!
Dalih di atas sangkat erat kaitannya dengan cerita Bilal Bin Robbah, yang sudah mendapat sertifikat surga, bahkan ketika ajal belum menjemputnya. Nah, ketika membahas Bilal, maka kalimat yang tepat untuk mendeskripsikannya ya tidak jauh-jauh dari: pengabdian yang agung atau ketundukan yang berbuah surga.
Maka lengkap sudah keyakinan kaum-kaum berpeci, untuk tidak berbuat macam-macam, tidak usah mengurus keinginan nurani.
Padahal, kalau menurut saya, keinginan nurani harus benar-benar diurus, harus benar-benar didengar. Sebab untung-untung kita diberkati nurani, masih mending kita dititipi kata hati. (Sekalipun kebenaran kata hati itu 50% masih bersifat malaikatisme, dan 50% lagi saitonisme.)

Rezim doktrin tersebut, secara otomatis menghendaki saya, mbak saya, adik saya untuk berpikiran lugu, menerima, tanpa harus membantah. Padahal kenyatannya….
“Lebih baik berkeyakinan setelah melihat, daripada menutup segala penafsiran hanya untuk mengiyakan satu ajaran (saja),” tidak tahu, saya dapat darimana prinsip itu. Yang penting, keinginan saya untuk exploring dulu sebelum believing mulai saya pegang sejak usia 16 tahunan.
Prinsip di atas, tentu berbenturan dengan, “Ikuti ajaran yang sudah banyak dianut orang. Sesuatu yang sudah dianut khalayak, tentu sangat menutup kemungkinan adanya kekeliruan.” Prinsip yang dipegang bapak saya, juga disepakati oleh sebagian teman-teman berpeci saya. (Hingga kini, masih ada teman-teman berpeci saya yang suka sms, untuk selalu mengingatkan supaya saya sedikit memangkas aksi jelajah saya.)
Kapan dan siapa yang membongkar rezim doktrin tersebut?
Indikasi mulai terbukanya pikiran bapak saya, muncul di awal-awal tahun 2007. Dan lebih terbuka lagi ketika ada keputusan dari saya untuk pergi ke Yogyakarta, setelah sempat dua kali bolak-balik Malang, bertemu Azizah Hefni, Lubis Grafura, dan Ratna Indraswari Ibrahim berkat jasa Ahmad Nur Shofi.
Saya bisa membuktikan, bahwa aksi jelajah saya justru membuahkan sesuatu yang lebih jelas (sebelum mendekatkannya ke dalam kata “sukses”). Bahwa, peralihan saya dari kaum masjidisme ke wilayah yang lebih terbuka, tidak menghasilkan keburukan. (Saya tidak pernah nonton konser, Bapak! Sekalipun besok saya menghadiri pagelaran musik, mungkin hanya aksi Tompi, Gigi atau Padi. Itupun kalau indoor. Sebab untuk 3 orang ini, anakmu ngefans habis, Pak.)
Maka biarkan anakmu berjalan tanpa arah, mengikuti ke mana kata hati. Sebab untuk berkeyakinan, tidak cukup hanya mendengar. Mari melihat….
Yogyakarta, 26 Maret 2011, 03:15 WIB
Sekarang bapak saya bisa menginterpretasikan message sebuah iklan, “Untuk siapa yang bertujuan untuk tersesat, mengikuti ke mana kata hati.” Go Ahead, Pak!